Bismillahirrahmanirrahim
Allahumma sholli wa sallim 'ala Sayyidina Muhammadin wa 'ala aalihi wa shohbihi wa sallam
Oleh: Ibnu Abdillah el Katibiy
Jimat dalam bahasa Arab adalah Tamimah. Arti secara etimologinya adalah
menjadi sempurna, kalau kita katakan Tamma asy-Syaiu maka artinya
bagian-bagian sesuatu itu menjadi sempurna. Jimat ini berupa sesuatu
perlindungan yang digantungkan kepada manusia. Seolah jimat ini menjadi
penyempurna proses kesembuhan yang dituntut. (lihat kitab Mu’jam Miqyas
al-Lughah; Ibnu Faris 1/339. Cetakan Maktabah al-Ilmiyyah)
Jimat atau tamimah ini secara istilah mempunyai dua makna :
Pertama
: manik-manik yang konon kaum Arab menggantungkannya kepada anak-anak
mereka untuk melindungi mereka dari penyakit ‘ain menurut asumsi mereka,
lalu datanglah Islam membatalkan keyakinan semacam itu. (lihat kitab
an-Nihayah fi Gharib al-Hadits wa al-Atsar : 1/197. Cetakan Maktabah
al-Ilmiyyah)
Kedua : lembaran yang ditulisi ayat al-Quran, dan
dikalungkan di leher misalnya, untuk mengalap berkah. (Lihat kitab
Hasyiah al-Jamal ‘ala syarh al-Manhaj; 1/76. Cetakan Dar al-Fikr)
Di
antara pokok akidah umat islam adalah tidak ada pengaruh independen bagi
setiap makhluk apapun. Barangsiapa yang meyakini adanya pengaruh
independen bagi selain Allah, maka ia telah jatuh pada kesyirikan.
Apabila meyakini bahwa jimat tidak membawa pengaruh secara independen,
maka ada dua keadaan; adakalanya berisi ayat al-Quran dan adakalanya
bukan dari ayat al-Quran. Jimat yang bukan dari ayat al-Quran,
adakalanya berisi dari dzikir, wirid atau doa yang baik, maka ini
hukumnya boleh. Apabila berisi selain itu misalnya dari tholsamat atau
kalimat yang tidak bisa dipahami secara baik bahasa Arab atau bahasa
lainnya, maka hukumnya tidak boleh.
Adapun jimat yang terdiri dari
ayat al-Quran atau dzikir, wirid dan ucapan yang baik, maka mayoritas
ulama ahli fiqih dari kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan
satu riwayat dari imam Ahmad menghukumi boleh menjadikan gantungan (di
leher atau sesuatu lainnya), mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala :
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
“ Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi obat dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS Al-Isra':82)
Imam al-Qurthubi mengomentari ayat tersebut :
اختلف
العلماء في كونه شفاء على قولين: أحدهما: أنه شفاء للقلوب بزوال الجهل
عنها وإزالة الريب، ولكشف غطاء القلب من مرض الجهل لفهم المعجزات والأمور
الدالة على الله تعالى. الثاني: شفاء من الأمراض الظاهرة بالرُّقى والتعوذ
ونحوه
“Para ulama berbeda pendapat tentang al-Quran sebagai obat,
menjadi duap pendapat; pertama al-Qurana dalah obat bagi hati dengan
hilangnya kebodohan dan keraguan, terbukanya penutup hati dari penyakit
bodoh, sebab kepahaman mu’jizat dan perkara-perkara yang menunjukkan
atas Allah Ta’ala. Kedua al-Quran adalah obat dari segala penyakit
dhahir dengan cara ruqyah, ta’awwudz (dijadikan suatu perlindungan) dan
semisalnya “. (lihat kitab al-Jami’ li ahkam al-Quran : 10/316. Cetakan
Dar al-Kutub al-Mishriyyah)
Sedangkan tamimah atau jimat termasuk
bentuk ta’awwudz yang ditulis, maka hukumnya boleh menggunakannya atau
menggantungkannya dengan niat keberkahan, karena Allah Ta’ala berfirman :
هَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ فَاتَّبِعُوهُ وَاتَّقُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“
Dan Al Qur'an itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka
ikutilah dia dan bertakwalah agar kalian dirahmati.” (QS. Al-‘An’am :
155)
Beberapa ulama wahabi di antaranya Ibnu Baz mengharamkannya
secara muthlaq baik digantungkan atau tidak meskipun berisi ayat
al-Quran. Ia berdalil dengan beberapa hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, di antaranya :
إن الرقى والتمائم والتولة شرك
“ Sesungguhnya ruqyah, jimat dan tiwalah adalah syirik “
Jika
jimat diharamkan berdasarkan hadits ini, berarti ruqyah juga diharamkan
secara muthlaq ? kenapa banyak ulama wahabi sekarang yang juga
melakukan praktek ruqyah ? Ibnu Baz berdalih lagi bahwa ruqyah itu ada
pengecualian, artinya ada ruqyah yang dilarang ada ruqyah yang
diharamkan.
Benarkan hujjah Ibn Baz itu ? benarkah tamimah atau jimat tidak ada pengecualiannya dan muthlaq keharamannya ? kita buktikan..
Diriwayatkan dari Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila dari isa saudaranya, ia berkata;
دخلت
على عبد الله بن عكيم أبي معبد الجهني أعوده وبه حمرة فقلنا: ألا تعلق
شيئًا؟ قال: الموت أقرب من ذلك، قال النبي صلى الله عليه وآله وسلم: مَنْ
تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ
“ Aku datang kepada Abdullah bin
Akim Abi Ma’bad al-Jahni menjenguknya yangs sedang sakit panas, maka
kami katakan padanya, “ Tidakkah kamu menggantungkan sesuatu saja ? “,
ia menjawab, “ kematian lebih dekat dari itu “. Maka Nabi shallallahu
‘alaihiw wa sallam bersabda, “ Barangsiapa yang menggantungkan sesuatu,
maka diwakilkan padanya “. (HR. Ahmad, al-Hakim danTurmudzi)
Imam al-Qurthubi mengomentari maksuda perkataan Nabi tersebut :
فمن علَّق القرآن ينبغي أن يتولاه الله ولا يَكِله إلى غيره؛ لأنه تعالى هو المرغوب إليه والمتوكل عليه في الاستشفاء بالقرآن
“
Maka siapa yang menggantungkan al-Quran sebaiknya ia menjadikan Allah
sebagian wakilnya dan tidak mewakilkan kepada selain-Nya, karena Allah
Ta’ala lah yang menjadi harapan dan tempat sandaran di dalam berobat
dengan al-Quran “. (lihat al-Jami’ liahkam al-Quran, al-Qurthubi :
10/320)
Artinya beliau membolehkan menggantungkan jimat yang terdiri dari ayat al-Quran asalkan tetap bersandar kepada Allah.
Diriwayatkan
juga dari ‘amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya bahwasanya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا فَزِعَ
أَحَدُكُمْ فِي النَّوْمِ فَلْيَقُلْ أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ
التَّامَّةِ مِنْ غَضَبِهِ وَعِقَابِهِ وَشَرِّ عِبَادِهِ وَمِنْ هَمَزَاتِ
الشَّيَاطِينِ وَأَنْ يَحْضُرُونِ؛ فَإِنَّهَا لَنْ تَضُرَّهُ
“ Jika seorang diantara kalian merasa takut di dalam tidurnya, maka ucapkanlah :
أَعُوذُ
بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّةِ مِنْ غَضَبِهِ وَعِقَابِهِ وَشَرِّ
عِبَادِهِ وَمِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِينِ وَأَنْ يَحْضُرُونِ
Maka
gangguan-gangguan setan tidak akan membahayakannya “. Ia berkata; “
Dahulu Abdullah bin ‘Amr Radhiallahu ‘anhuma mengajarkannya kepada
anaknya yang sudah baligh dan menulisnya untuk yang belum baligh di
sebuah lembaran lalu digantungkan di lehernya “. (HR. Abu Daud dan
Turmudzi)
Dalam kitab hadits Mushannaf Ibnu Abi Syaibah :
أن سعيد بن المسيب سئل عن التعويذ فقال: "لا بأس إذا كان في أديم"،
وعن
عطاء قال: "لا بأس أن يعلق القرآن"، وكان مجاهد يكتب للناس التعويذ فيعلقه
عليهم، وعن الضحاك أنه لم يكن يرى بأسًا أن يعلق الرجل الشيء من كتاب الله
إذا وضعه عند الغسل وعند الغائط، ورخَّص أبو جعفر محمد بن علي في التعويذ
بأن يُعلق على الصبيان، وكان ابن سيرين لا يرى بأسًا بالشيء من القرآن.
“
Bahwasanya Said bin Musayyib ditanya tentang ta’widz (sesuati yang
dijadikan perlindungan), maka beliau menjawab; “ tidak mengapa jika
(ditulis) pada kulit “. Dari Atha’ ia berkata, “ tidak mengapa
menggantunkan (jimat) yang terdiri dari ayat al-Quran “. Dahulu Mujahid
menulis ta’widz untuk orang-orang lalu menjadikannya gantungan leher
pada mereka “. Dari Ad-Dhahhak ia berpendapat,” bahwasanya tidaklah
mengapa sesorang membuat jimat gantungan dari kitab Allah apabila
diletakkan ketika hendak mandi atau buang air besar “. Abu Jakfar
Muhammad bin Ali membolehkan jimat gantungan pada anak kecil. Ibnu Sirin
juga bependapat tidaklah mengapa membuat jimat dengan al-Quran “.
(lihat Mushannaf Ibnu Abi Syaibah; 5/43-44)
Dari riwayat-riwayat
hadits ini sangat jelas, membolehkan menggantungkan jimat yang terdiri
dari ayat al-Quran atau dzikir ataupun doa yang baik. Dan menjadi
pengecualian dari jimat. Artinya ada jimat yang dilarang dan ada jimat
yang diperbolehkan bahkan digantungkan pada leher hukumnya juga boleh.
Mayoritas ulama pun memperbolehkannya :
Dalam kitab Kifayah ath-Thalib ar-Rabbani disebutkan :
ولا
بأس بالمُعاذة) وهي التمائم -والتمائم الحروز- التي (تعلق) في العنق
(وفيها القرآن) وسواء في ذلك المريض، والصحيح، والجنب، والحائض، والنفساء،
والبهائم بعد جعلها فيما يكنها]. اهـ، ففُهم من ذلك أن ما كان من القرآن
جائز إذا جُعل في شيء يحفظه.
“ Tidaklah mengapa dengan jimat yang
digantungkan di leher dan di dalamnya berisi ayat al-Quran, baik
diperuntukkan untuk yang sakit, sehat, junub, haid, nifas ataupun
binatang setelah dibungkus sebagai pengamannya “. (lihat Kifayah
ath-Tahlib ar-Rabbani ‘ala Risalah Ibn Abi Zaid al-Qairawani : 2/492.
Cetakan Dar al-Fikr)
Bisa kita pahami bahwa jimat yang berisi ayat al-Quran hukumnya boleh jika dibungkus dengan sesuatu yang menjaganya.
Imam Malik mengatakan :
لا بأس بتعليق الكتب التي فيها أسماء الله عز وجل على أعناق المرضى على وجه التبرك
“
Tidaklah mengapa menggantungkan tulisan yang berisi asma Allah Ta’ala
di leher-leher orang yang sakit atas dasar tabarruk (ngalap berkah) “.
(lihat al-Jami’ liahkam al-Quran, al-Qurthubi : 10/319)
Imam an-Nawawi dalam kitab Majmu’nya menyebutkan hadits :
من علَّق تميمة فلا أتم الله له، ومن علَّق ودعة فلا ودع الله له
“
Barangsiapa yang mengenakan jimat maka Allah ta’ala tidak akan
menyempurnakan hajatnya, dan barangsiapa yang mengenakan wada’ah (jimat
batu pantai) maka Allah ta’ala tidak akan memberikan ketenangan
kepadanya."
Lalu menukil komentar imam al-Baihaqi sebagai berikut :
ان
النهي راجع إلى معنى ما قال أبو عبيد- أي: ما كان بغير العربية بما لا
يدري ما هو- ثم قال -أي البيهقي-: وقد يحتمل أن يكون ذلك وما أشبهه من
النهي والكراهة فيمن يعلقها وهو يرى تـمام العافية وزوال العلة بـها على ما
كانت عليه الجاهلية، أما من يعلقها متبركًا بذكر الله تعالى فيها وهو يعلم
أن لا كاشف له إلا الله ولا دافع عنه سواه، فلا بأس بـها إن شاء الله
تعالى
“ Sesungguhnya dalam hadits itu yang dilarang adalah kembali
pada apa yang dikatakan oleh Abu Ubaid, “ yang dilarang adalah yang
selain bahasa Arab yang tidak dapat dipahami maknanya “, kemudian imam
Baihaqi mengatakan, “ Terkadang dimungkinkan sifat yang terlarang dan
makruh adalah bagi orang yang menggantungkannya dan berpandangan akan
mendapat kesempurnaan afiat dan hilangnya penyakit dengan jimat tersebut
yang juga diasumsikan konon pada masa jahiliyyah. Adapun orang yang
menggantungkannya dengan niat ngalap berkah dengan dzikir Allah Ta’ala
di dalamnya dan dia mengetahui bahwa tidak ada yang mampu menyingkap
penyakit kecuali Allah, dan tidak ada yang dapat menolak bahaya kecuali
Allah, maka tidaklah mengapa yang demikian itu insya Allah “.
(al-Majmu’, imam Nawawi : 9/66. Cetakan Dar al-Fikr)
Imam Nawawi pun
tidak mengomentari hujjah imam Baihaqi tersebut tanda, tidak adanya
penolakan dari imam Nawawi akan hal ini dan setuju dengan komentar imam
Baihaqi tersebut.
Al-Hafidz ibnu Hajar mengatakan dalam hal ini setelah menyebutkan hadits-hadits tentang larangan menggantungkan jimat :
هذا
كله في تعليق التمائم وغيرها مما ليس فيه قرآن ونحوه، فأما ما فيه ذكر
الله فلا نـهي فيه؛ فإنه إنـما يجعل للتبرك به والتعوذ بأسـمائه وذكره
“
Semua ini dalam hal menggantungkan jimat dan selainnya yang tidak
berisi ayat al-Quran dan semisalnya. Adapun yang berisi dzikir kepada
Allah, maka tidaklah terlarang. Karena sesungguhnya hal itu hanyalah
dijadikan untuk mengambil berkah saja dan berta’awwudz dengan asama
Allah dan dzikir kepada-Nya “. (lihat Fath al-Bari syarh Sahih
al-Bukhari : 6/142. Cetakan Dar al-Ma’rifah)
Al-Qadhi Abu Ya’la ulama dari kalangan Hanabilah mengatakan :
يجوز
حمل الأخبار- أي الـمانعة- على اختلاف حالين، فنهى إذا كان يعتقد أنـها
النافعة له والدافعة عنه، وهذا لا يجوز؛ لأن النافع هو الله. والموضع الذي
أجازه إذا اعتقد أن الله هو النافع والدافع. ولعل هذا خرج على عادة
الجاهلية، كما تعتقد أن الدهر يغيرهم فكانوا يسبونه
“ Boleh hukumnya
membawa jimat, ini ada dua keadaan; pertama dilarang jika meyakini jimat
itu yang membawa manfaat dan menolak bahaya, ini tidak boleh, karena
yang memberi manfaat adalah Allah. Dan tempat diperbolehkannya jimat,
adalah jika meyakini bahwa Allah lah yang memberi manfaat dan menolak
bahaya. Hal ini keluar dari kebiasaan jahiliyyah, sebagaimana kaum
jahiliyyah meyakini bahwa tahun bisa merubah nasib baik mereka sehingga
mereka mencacinya “. (lihat Kasyaf al-Qina’ ‘an Matn al-Iqna’, al-Bahuti
: 2/77. Cetakan Dar al-Kutub al-Ilmiyyah )
Wahai saudaraku,
sudah jelas dan terang hujjah dalam hal ini. Bahwa mayoritas ulama
sepakat membolehkan jimat yang ditulis dengan ayat al-Quran atau dzikir,
wirid dan doa yang baik yang dipahami maknanya, digantungkan di leher
ataupun tidak. Asalkan berkeyakinan bahwa Allah lah yang memberi manfaat
dan menolak bahaya. Jimat yang berisi ayat al-Quran, dzikir, wirid dan
doa hanyalah sebagai wasilah mengalap berkah dari Allah Ta’ala sebab itu
semua.
Jika mereka kaum primitif, masih saja menghukumi syirik dan
pelakuknya musyrik, maka sungguh telah bathar ‘anil haq (menentang
kebenaran) dan fanatik buta terhadap pemahaman yang dianutnya. Jika
kalian mengikuti pemahaman Ibn Baz dan ulama yang sealiran dengannya
dalm hal ini, silahkan saja kamipun tidak melarangnya, akan tetapi kami
juga memiliki hujjah-hujjah yang kuat yang menjadi sandaran kami dalam
hal ini. Tidak ada haq kalian melarang-larang kami apalagi sampai
memvonis kami pelaku syirik. Semoga bermanfaat.
Wallahu a'lam bi murodhih
Wabillahittaufiq
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
IJAZAH MAHABBAH BULAN PURNAMA 1
Bismillahirrahmanirrahim Potongan Q.S. Thoha ayat 39 وَأَلْقَيْتُ عَلَيْكَ مَحَبَّةً مِّنِّي وَلِتُصْنَعَ عَلَى عَيْنِي WA ALQOITU ...
-
Bismillahirrahmanirrahim Pada kesempatan kali ini insya Allah kami bahas tentang keistimewaan dan asror dari Mahabbah Ayat Lima. Berdasark...
-
Bismillahirrahmanirrahim Allahumma sholli wa sallim 'ala Sayyidina Muhammad wa 'ala aalihi wa shohbihi wa sallim Pada kesempatan ...
-
Bismillahirrahmanirrahim. Pada kesempatan kali ini insya Allah akan dibahas tentang Kholisoh si Budak Hitam dan Hirzul Ghosilah. Kisah d...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar